♫♫ GABUNG DISINI UNTUK SELALU DAPATKAN UPDATE BLOG ♫♫
♫♫ BLOG iNdOneSiA sAdJa MENYEDIAKAN DOWNLOAD MP3 DAN VIDEO INI HANYA SEKEDAR UNTUK REVIEW SAJA. UNTUK KEPEMILIKAN, BELILAH KASET / CD / VCD / DVD MP3 DAN VIDEO ORIGINALNYA ♫♫
♫♫ PROMOSIKAN GRUP MUSIK / BAND / GRUP DANGDUT dll MILIK ANDA DI BLOG INI. Silakan klik link PROMOSI INDIE ♫♫

21 May 2009



Selalu ada sensasi tersendiri setiap memasuki wilayah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pemandangan para abdi dalem dengan beskap maupun kebaya, suasana yang tenang, keramahan yang orisinil, dan alunan indah bahasa kromo inggil yang muncul dari mulut para abdi dalem tersebut setiap diajak berbicara. Sebuah keadaan yang akan semakin sulit ditemukan diluar wilayah Keraton.

Yogyakarta telah lama dikenal sebagai kota budaya. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memegang peranan penting sebagai pusat dan sumber kebudayaan yang dimiliki oleh kota Yogyakarta. Namun predikat sebagai kota budaya bukan tidak mungkin sebentar lagi akan dicopot dari Yogyakarta. Kebudayaan yang diagung-agungkan dan menjadi trade mark Yogyakarta ternyata lambat laun mulai tergeser akibat arus globalisasi yang semakin kencang berhembus. Dalam peta Pariwisata Indonesia, Yogyakarta termasuk salah satu favorit tujuan para wisatawan (baik Mancanegara maupun domestik). Setiap musim liburan tiba, kita dapati jalan-jalan di kota kita ini terasa semakin sesak dengan wisatawan yang berkunjung. Salah satu yang diunggulkan Yogyakarta sebagai ujung tombak pariwisata adalah wisata budaya. Menurut E.B Taylor (1982), kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang terkandung didalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat manusia sebagai anggota suatu masyarakat.

Generasi muda memegang peranan kunci demi kelestarian sebuah kebudayaan. Namun kecenderungan yang terjadi di Yogyakarta dewasa ini adalah; semakin menipisnya perhatian atau minat generasi muda dalam hal pelestarian kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari pola dan gaya hidup generasi muda Yogyakarta yang sudah semakin jauh meninggalkan identitas ke”Jogjaan”nya. Memang tidak dapat disalahkan apabila para generasi muda, khususnya remaja, di kota Jogjakarta lebih mengakrabi budaya pop ketimbang budaya warisan leluhur yang bersahaja. Peran media sangat besar dalam memperngaruhi orientasi budaya kalangan muda ini. Muncul istilah generasi MTV yang mengacu pada budaya dan gaya hidup yang penuh dengan hura-hura, glamour dan kekayaan yang tidak masuk akal. Remaja dengan tingkat emosi dan pemahaman yang masih labil secara mentah-mentah menduplikasi apa-apa yang mereka lihat melalui televisi pada kehidupan sehari-hari mereka, baik dalam budayanya dan terlebih dalam dandanannya. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Lambat laun tradisi dan budaya asli Yogyakarta yang anggun dan bersahaja itu bakal tergusur dan akan benar-benar lenyap dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jogja sendiri.



Contoh sederhana adalah penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sehari-hari mulai tergusur dengan bahasa Indonesia, yang sebenarnya juga bukan murni bahasa Indonesia, karena banyak mengandung sisipan dan istilah-istilah yang populer dengan bahasa gaul. Tak pelak lagi bahasa jawa yang memiliki tingkatan-tingkatan seperti kromo inggil, kromo alus, sampai ngoko mulai jarang bisa kita dengarkan dari mulut seorang remaja yang berbicara kepada orang tuanya, atau seorang adik kepada kakaknya.

Dari segi tradisi, telah lama kita tahu bahwa THR Yogyakarta telah menjadi Purawisata yang mengandalkan musik dangdut sebagai acara pokoknya, yang mana dangdut jelas-jelas bukan merupakan budaya asli dari Yogyakarta. Kadang muncul keinginan untuk dapat menyaksikan pertunjukan kethoprak atau wayang orang seperti yang secara rutin masih dipentaskan di taman Sriwedari Solo. Bisa dipastikan dengan keadaan seperti ini semakin banyak generasi muda asli Yogyakarta yang buta akan kesenian wayang kulit, kethoprak, wayang orang, dan tari-tarian asli peninggalan kebudayaan Yogyakarta, dikarenakan tidak ada lagi tempat yang secara kontinyu menyajikan kesenian-kesenian tradisional tersebut.

Tradisi Sekaten yang merupakan tradisi peninggalan leluhur juga menuai kontroversi setiap perayaannya. Sekaten dituding sudah bukan lagi milik rakyat, karena kental dengan aroma komersialisme yang mengalahkan nuansa tradisinya itu sendiri. Sungguh kasihan generasi penerus di Jogjakarta. Suatu saat mungkin mereka hanya bisa mendapatkan informasi tentang sejarah tradisi dan kebudayaan kota mereka sendiri melalui buku pelajaran.

Pemerintah Propinsi DIY seharusnya sadar betapa pentingnya melestarikan tradisi dan kebudayaan asli daerah. Pelestarian budaya dan tradisi Jogja bukanlah semata-mata tanggung jawab Keraton, namun juga tanggung jawab kita semua sebagai warga Jogja yang harus didukung sepenuhnya oleh Pemprop DIY. Pelestarian sebuah kebudayaan adalah sebuah tindakan yang harus dilakukan secara terus menerus, bukannya terputus. Mungkin ada baiknya apabila pemerintah membangun semacam pusat kebudayaan, yang secara rutin menampilkan budaya-budaya asli Yogyakarta, seperti tarian, kethoprak, wayang orang dan wayang kulit. Tidak hanya cukup mendata grup-grup kesenian tradisional saja, tetapi juga memberi pembinaan yang serius terhadap kebudayaan-kebudayaan Yogyakarta yang sudah diambang kepunahan, seperti nggamel dan macapatan. Semoga Yogyakarta tetap diingat sebagai kota yang berbudaya.


iNdOneSiA sAdJa




0 Comments:

Post a Comment





Kembali ke halaman muka Mohon untuk selain admin untuk jangan klik disini!! PROMOSIKAN GRUP MUSIK / BAND / GRUP DANGDUT dll MILIK ANDA DI BLOG INI. Klik Aku donK!!